Catatan pendek untuk cerita panjang


Padang sabana di Pulau Sumba


Sumba merupakan salah satu pulau dari beberapa gugus pulau di nusa tenggara. Pulau ini terletak pada bagian selatan Indonesia dengan sebagian besar gambaran topografinya berupa padang sabana di atas bukit-bukit batu kapur yang tandus.

Sumba erat kaitannya dengan marapu, sebuah aliran kepercayaan di pulau ini yang masih bertahan di tengah perubahan jaman dari waktu ke waktu. Marapu termasuk ke dalam dinamisme, yang merupakan pemujaan terhadap roh nenek moyang.

Seorang yang beraliran kepercayaan marapu tidak memeluk agama manapun. Inti ajaran marapu mempertahankan keselerasan antara manusia dengan yang kuasa, sesama dan alam semesta.

Roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dipercaya tetap menjaga dan mengawasi kehidupan manusia. Roh nenek moyang ini disebut sebagai marapu. Pemujaan terhadap roh nenek moyang ini di lakukan di dalam kampung dan diluar kampung seperti kebun, sawah, maupun mata air. Ketika hendak panen, menanam, atau mengadakan pesta diadakan ritual khusus meminta ijin pada Marapu.

Salah satu contoh dalam aliran kepercayaan marapu ketika hendak membangun rumah, pencarian kayu dilakukan di hutan melalui adat khusus. kayu tidak boleh langsung ditebang, dilakukan Ritual dimana Rato (pemimpin adat) melantunkan syair-syair. Salah satu syair di sumba bagian barat berbunyi :

Ma'u kalaki witu, loga na' illi tana
Ya tauna kamu woga jara lika loga
Jara, lima gawa, aki pogu ya
Na pingi na, aku dari gunya na lolu na

Yang intinya berarti :
Rumah kami telah rusak
Ijinkan kami menebang kayu ini
Untuk Membangunnya kembali 
(Dinas kebudayaan dan pariwisata kabupaten Sumba barat, 2009)


Penduduk pulau sumba dahulunya merupakan penganut aliran kepercayaan marapu, sebelum munculnya agama-agama di nusantara. Tapi baik mereka yang memeluk agama, maupun yang beraliran kepercayaan marapu tetap hidup harmonis. Marapu telah mendarah daging dalam budaya masyarakat Sumba. Bahkan hari besar aliran kepercayaan marapu dijadikan hari libur dan perayaan budaya bersama masyarakat Sumba.

Keseimbangan antara manusia dengan sang kuasa, alam semesta serta sesama manusia akan melahirkan kebahagiaan. Sedangkan rusaknya tatanan alam semesta akan mendatangkan bencana.

Kepercayaan ini tetap dipegang teguh hingga saat ini. Walaupun ada beberapa konsekuensi, seperti penganutnya kesulitan untuk bersekolah dan melamar pekerjaan (terutama dalam instansi pemerintahan) karena diwajibkan memeluk salah satu dari 6 agama yang diakui di Indonesia.
Namun kebenaran tak mutlak dimiliki mereka yang memegang salah satu dari 6 agama yang ada di Indonesia.
Pertanyaan refleksi bagi kita yang menyatakan diri sebagai orang 'beragama' dan 'berpendidikan'. Sejauh mana kita menghargai alam semesta ?
Penebangan hingga pembakaran hutan, perburuan liar hingga penyiksaan binatang, saling serang dan pertikaian akibat SARA hingga perdagangan manusia. Sejauh mana kita menjaga keseimbangan dan keselarasan alam semesta?

Salam sayang dari penulis, foto diambil di kampung Praiijing dengan latar rumah adat Sumba

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : The Psychology of Money

Aksa

Resume : The Psychology of Money