Review Buku : A Feminist Manifesto


“Budaya tidak membentuk manusia, manusialah yang membentuk budaya.”

Bicara budaya, tentunya tidak dapat lepas dari perkembangan peradaban manusia dari waktu ke waktu. Tak sedikit budaya yang berkembang menjadikan perempuan pada posisi kedua, setelah laki-laki.  Presentase jumlah perempuan sedikit lebih banyak dibanding laki-laki, namun kedudukan pada posisi tinggi dan pemegang kuasa didominasi oleh laki-laki. Apakah karena bawaan jaman prasejarah serta secara hukum rimba laki-laki lebih kuat oleh kekuatan fisiknya yang dipengaruhi hormon testosteron? Bagian terpenting menjadi seorang pemimpin adalah kecerdasan, kemampuan adaptasi, pengetahuan, problem solving, serta pembawaan diri. Dan hal-hal itu tidak ditentukan oleh hormon. Tak sedikit budaya yang “mengharuskan” lelaki menjadi pemimpin, dan hal ini akan menjadi normal, karena telah biasa disaksikan, berlangsung lama dan terus berlangsung. Kemudian rasa skeptis, ketidakpercayaan, bahkan penolakan tak jarang muncul jika ada seorang perempuan yang memimpin dalam budaya yang seperti ini.


“Yang bermasalah dengan gender adalah ia menentukan bagaimana kita seharusnya, bukan mengakui siapa kita sebenarnya.”

“Seorang perempuan tak seharusnya bertindak seperti itu, seorang perempuan tak boleh berkata demikian, seorang perempuan haruslah begini, seorang perempuan harus mampu melakukan ini.” Ada begitu banyak keharusan yang harus dipenuhi oleh perempuan. Perempuan dan laki-laki berbeda secara biologis, namun perempuan tak dilahirkan dengan gen mencuci, memasak, dan lain sebagainya. Perempuan tak dapat diseragamkan dengan ciri nada suara yang lemah lembut, penurut, pembawaan yang tenang, atau apapun. Namun, lelaki pun tak selamanya harus lebih kuat, lebih tangguh, lebih mapan ekonominya.  Maskulinitas sering diartikan sebagai ruang yang keras, dengan memberikan tekanan kepada anak laki-laki untuk menghindari kelemahan dan dipaksa menjadi tangguh baik secara fisik maupun materi. Dan kemudian akan menjadi rapuh dan merasa terancam dengan kehadiran wanita yang dirasa melebihi dirinya. 


“Wanita tidak perlu diperjuangkan dan dihormati; mereka hanya perlu diperlakukan sebagai manusia yang setara.”

Perempuan sering ditempatkan pada posisi yang lemah dan butuh dilindungi oleh belas kasihan dan empati. Kita sering mendengar kalimat, “panggil ayahmu, panggil suamimu, atau panggil abangmu aku tak mau berurusan dengan perempuan” sebagai hal yang wajar. Namun hal ini secara tidak langsung, menyatakan bahwa perempuan adalah mahkluk lemah yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Laki-laki diharuskan mengalah dan mengatakan bahwa ia “mengalah” karena ia seorang laki-laki yang gentle. Pada ruang-ruang publik, kita memberi stigma pada laki-laki yang berdebat atau adu argument dengan perempuan, sebagai lelaki yang lemah dan “abnormal”. Ada kesan memandang lemah dalam gagasan perlu “dihormati dan diperjuangkan karena mereka perempuan”. 


“Tidak perlu disukai oleh semua orang.”

Perempuan dituntut mengikuti apa yang diinginkan lingkungannya. Apa yang berbeda dan tak sesuai seperti lazimnya akan dinilai menyimpang dan keliru, apalagi jika dilakukan oleh perempuan. Namun, amat jarang laki-laki dihakimi oleh karena penampilan maupun pemikirannya.

“Kulitmu terlalu gelap untuk memakai celana sependek itu.”

“Riasanmu terlalu tebal, terlihat seperti badut.”

“Kau terlihat seperti ninja dengan pakaian itu.”

“Pikiranmu sesat, perbanyak ibadahmu.”

“Pakaian itu membuat terlihat tidak bermoral”

Standar  kecantikan diseragamkan berkulit putih, rambut panjang, bermata besar, dengan hidung mancung. Bahkan standar moralitas pun diukur dari cara berpakaian hingga keberanian mengungkapkan isi pikiran. Perempuan seakan-akan terus dihakimi, dituntut, bahkan tak jarang diberi stigma oleh lingkungannya. Perempuan yang baik diukur dari seberapa tertutupnya pakaian yang digunakan. Perempuan yang santun dinilai dari apa yang diungkapkan dari pikiran-pikirannya, pemikiran yang berani, frontal dan dianggap tak biasa akan ditolak plus diberikan cibiran. 

Dengan bahasa yang ringan dan akrab, membaca buku ini terasa seperti mengobrol dengan seorang teman dekat yang mengantar untuk memahami apa itu feminis. Dengan cerita yang terkesan nyata dan general akan membantu pembaca membayangkan sekaligus menyadarkan diskriminasi yang terjadi dalam keseharian namun dianggap lumrah karena terjadi terus menerus. Feminis bukan hanya permasalahan perempuan, tetapi juga laki-laki. Baik laki-laki maupun perempuan diperlukan andilnya untuk merubah apa yang keliru, untuk mencapai ruang yang lebih baik untuk perempuan dan lebih baik untuk laki-laki pula. Terlepas dari itu, seperti membaca opini seseorang pada umumnya, wajar saja jika bertemu penolakan dengan pandangan kita. Sebagai konsumen baiknya memilah dan memilih bukan hanya yang dibutuhkan tubuh, namun juga sebaiknya apa yang menyehatkan tubuh.


*Feminis : Seorang yang percaya pada kesetaraan sosial, politik, dan ekonomi kedua jenis kelamin.



Judul buku : A Feminst Manifesto : Kita Semua Harus Menjadi Feminis

Penulis : Chimamanda Ngozi Adichie

Alih bahasa : Winda A

Jumlah halaman : viii + 79

Penerbit : Odyssee Publishing


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi : The Psychology of Money

Aksa

Resume : The Psychology of Money