Gaharu dan Kualifikasinya
Gaharu dikenal juga sebagai Agarwood, Aloewood, Eaglewood atau Lign aloes. Gaharu sendiri merupakan resin
dengan aroma wangi nilai komersial tinggi.
Produk hasil hutan bukan kayu ini
berwarna kehitaman pada batang, cabang dan akar pada spesies dari genus
Aquilaria, Gyrinops, Aetoxylon dan Gonystylus dari famili Thymelaeaceae
(Subashinghe dan Hettiarachi, 2015). Hutan Indonesia yang memiliki luas 138
juta hektar menghasilkan berbagai macam komoditi. Salah satunya adalah gaharu
yang merupakan hasil hutan bukan kayu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi
(Subowo, 2010). Gubal gaharu merupakan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma harum khas yang
bersumber dari kandungan bahan kimia berupa resin (Maryani et al, 2005). Gaharu dihasilkan oleh tanaman sebagai respons
dari mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman
berkayu dapat disebabkan secara alami karena ada cabang dahan yang patah atau
kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian
(Womsiwor, 2018). Gaharu dimanfaatkan untuk hio/dupa, bahan baku parfum, obat
tradisional dan produk lainnya (Auri, 2011).
Gaharu atau agaru dan aguru dalam bahasa
Sangsekerta diartikan dengan “kayu yang tidak mengambang” (non-floating wood)
(Miler, 1969 di dalam Lopez-Sampson, 2018). Dari sisi sebaran tempat tumbuh di
Indonesia, maka tumbuhan penghasil
gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku,
Nusa Tenggara, dan Papua (Yuliansyah dkk. 2003). Di dalam Syahri (1989) umumnya
pohon yang menjadi cikal bakal gaharu yang memiliki ciri merana dan pertumbuhan
yang kurang baik. Pohon tersebut oleh masyarakat lokal ditebang kemudian
dipotong dan direndam di dalam lumpur. Kayu akan menjadi gaharu setelah
dibiarkan di tempat lembab selama 6 hingga 7 bulan. Menurut Hidayat (2020) produk
gaharu alam tersebut banyak ditemukan di Indonesia sebelum tahun 1980an,
terutama di Kalimantan, Sumatera, Papua, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, dalam
perjalanan waktu sekitar tahun 2010an,
produk gaharu alam semakin langka diperoleh di hutan. Salah satu indikatornya
adalah tidak terpenuhinya kuota supply yang diberikan oleh kantor Badan
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) di setiap provinsi khususnya Kalimantan
Timur kepada pengumpul gaharu tingkat propinsi dalam rentan waktu lima tahun
ini (2013-2018).
Upaya peningkatan produksi gubal gaharu
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti yang telah dilakukan oleh
Santoso et al. (2011a) dan Santoso et al. (2011b) yang menghasilkan gaharu
dengan mutu kemedangan C pada usia 3 bulan inokulasi. Vantompan et al. (2015)
membandingkan inokulan Fusarium sp.
dengan metode infus dan metode injeksi pada Aquilaria
malaccensis dimana metode infus secara morfologi menunjukan adanya
perubahan warna kayu yang sangat signifikan dari putih menjadi hitam jika
dibandingkan dengan metode injeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Aswin (2016)
menunjukan bahwa aplikasi dosis inokulan fungi Fusarium sp. berpengaruh nyata terhadap luas infeksi, perubahan
warna kayu dan tingkat wangi dalam pembentukan gaharu pada pohon
karas (Aquilaria malaccensis).
Di
Indonesia gaharu dapat di kelompokan menjadi dua kualitas : jenis Gubal
(kualitas terbaik )dan jenis Kemedangan (kualitas menengah dan bawah). Klasifikasi gaharu di lakukan berdasarkan
permintaan pembeli dan kualitas kayu/mutu dan spesifikasi species (Aquilaria
Mallacensis,Filaria,Gyrinops Spp) berdasarkan bentuk alami kayu Gaharu tersebut
dibagi menjadi 4 penggolongan. Golongan pertama terdapat blok/tunggul, chips
/serpihan, teri, kacang, dan abuk ; yang kedua adalah minyak; kemudian terdapat
resin (BMW) ; dan golongan terakhir adalah abuk limbah yang merupakan hasil
penyulingan minyak dan resin).
Jika
dibagi lagi, abuk gaharu terdiri dari abuk gubal, abuk kemedangan, abuk limbah
resin, dan abuk limbah minyak. Sedangkan kemedangan dapat diklasifikasikan
menjadi kemedangan A, B, C, TGC (BC) dan
kemedangan putih teri Kacang (terapung). Dan pada gubal gaharu sendiri terdiri
dari double super, super A, super B, kacang teri A, teri B, dan saba
(tenggelam).
Kandungan resin pada kayu ini yang
menentukan kualitas dan harga kayu gaharu, semakin tinggi kandungan resin maka
semakin mahal pula harganya (Balfas, 2008). Klasifikasi gaharu dilakukan
berdasarkan kelas, mutu dan spesifikasi melalui pemisahan dalam bentuk chips/serpihan,
teri, kacang dan abuk. Cara pemisahan mutu dilakukan melalui penilaian kayu gaharu,
baik gubal, kemendangan dan abuk pada ciri yang meliputi: ukuran, warna, bentuk
dan aroma. (Womsiwor, 2018). Pohon yang
paling banyak dicari oleh para pemburu gaharu adalah dari genus Aquilaria dan
Gyrinops karena kualitas dan harga jualnya yang lebih tinggi (Putri, 2013 di
dalam Rachmawaty, 2021).
Penilaian terhadap ciri khas gaharu yang
diperdagangkan dilakukan dengan cara memotong atau membakar kayu untuk
mengetahui gaharu apakah aroma wangi tersebut kuat atau lemah. Apabila tercium
aroma wanginya sangat kuat dan profil serat kayu agak halus dan berwarna hitam
hingga coklat tua, maka dapat dikelompokan menjadi gubal, sedangkan aroma
wanginya lemah dan profil kayu kasar berwarna coklat muda hingga kuning adalah
kemedangan. Sedangkan abu merupakan ampas kerokan dari gubal dan kemedangan
(Womsimor, 2018).
Daftar Pustaka
Aswin. 2016. Inokulasi
Fusarium sp. Pada Pohon Karas (Aquilaria
malaccencis lamk.) Terhadap Pembentukan Gaharu. Jurnal Kehutanan, Vol.11,
No.
Auri A. 2011.
Pembentukan senyawa chromone pohon gaharu (Gyrinops verstegii) pada lahan
polikultur di Kampung Susweni. Beccariana,
1(13) : 22-27.
Balfas, J. 2008.
Kandungan Resin pada Kayu Gaharu Kualitas Rendah. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 1(26) : 97-105.
Hidayat, H., Siburian,
R., Yuliana, C.I. 2020. Gaharu Alam, Jaringan Perdagangan, dan Gaharu Budidaya:
Studi Kasus Kalimantan Timur. Jurnal
Biologi Indonesia, 16(1): 99-110.
Lopez-SA. & T.
Page. 2018. History of Use and Trade of Agarwood. Economic Botany, 20 (10): 1-23.
Maryani,N.,G.Rahayu
dan E.Santoso, 2005. Respon Acremonium sp. Asal Gaharu terhadap Alginate dan
CaCl2. Prosiding Seminar Nasional Gaharu. Seameo-Biotrop, Bogor,1-2 Desember
2005
Rachmawaty, Ashar, A.,
Ali, A., Pagarra, H., Hiola, S.F. 2021. Pembentukan Gaharu Pada Pohon Aquilaria malaccensis Lamk., Menggunakan
Inokulum Fusarium sp. Jurnal Sainsmat, 2(10) : 178-188.
Santoso E, Irianto
RSB, Sitepu IR, Turjaman M (2011a) Better inoculation engineering techniques,
Technical Report 2, ITTO PD425/06 Rev.1. R&D Center for Forest Conservation
and Rehabilitation. Bogor.
Santoso E, Pratiwi,
Purnomo E, Irianto RSB, Wiyono B, Novriyanto E, Turjama M (2011b) Selection
pathogens for eaglewood (gaharu) inoculation. Technical Report 3. ITTO PD425/06
Rev.1. R&D Center for Forest
Subansinghe, S.M., Hettiarachchi, D.S. 2015. Characterisation of
agarwood type resin of Gyrinops walla Gaertrn growing in selected population in
Sri Langka. Industrial Crops and Produc,t
(69): 76-79.
Subowo, Y. B. 2010.
Jamur Pembentuk Gaharu Sebagai Penjaga Kelangsungan Hidup Tanaman Gaharu
(Aquilaria sp). Jurnal Teknologi
Lingkungan, 11 (2) : 167-168.
Syahri, T.N. 1989.
Sifat dan Kualitas Gaharu (Gonystillus
spec.). Jurnal Penelitian Hasil Hutan,
2(6) : 129-132.
Vantompan DPW, Savante
A, Wibowo AM (2015) Perbandingan Inokulan Fusarium sp. Menggunakan Metode Infus dan Injeksi Untuk
Mendapatkan Gaharu Pada Pohon Aquilaria malaccensis, Program Studi Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura.
Womsimor, D., Dimara, P.A., Mofu, W.Y. 2018. Klasifikasi
Kualitas dan Nilai Gaharu pada Klaster Pedagang Pengumpul di Kabupateng Sorong.
Jurnal Kehutanan Papuasia, 4(1) :
19-33.
Yuliansah, Siran SA,
Kholik A, MR, Rayan. 2003. Gaharu komoditi HHBK andalan Kalimantan Timur, Balai
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Edisi Khusus No. 14.
Komentar
Posting Komentar